Oleh: Jamhuri-Direktur Eksekutif LSM Sembilan
Polemik angkutan batubara sepertinya tidak akan pernah berakhir sampai alam turut campur untuk mengingatkan para pembuat kebijakan khususnya di Provinsi Jambi, bahwa ada yang salah dalam pengelolaan dan pemanfaatan karunia dan anugrah Tuhan Yang Maha Esa.
Masih benar-benar segar dalam ingatan kita semua pada beberapa hari yang lalu saat salah satu tiang penyangga Jembatan Aur Duri I patah dan/atau roboh ditabrak oleh ponton atau tongkang angkutan batubara.
Didapat informasi dari masyarakat atau sumber yang layak untuk dipercaya yang menyebutkan bahwa hanya selisih beberapa jam setelah kejadian di Jembatan Aur Duri I hal yang sama dan pada hari yang sama kejadian serupa juga menimpa Jembatan Muara Tembesi Kabupaten Batanghari.
Lebih lanjut informasi dimaksud menyebutkan bahwa ponton atau tongkang yang menabrak jembatan Muara Tembesi tersebut bermuatan batubara sebanyak ± 600 ton yang berasal dari kawasan Desa Matogual Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari.
Tongkang tersebut diberi nama NWC dan ditarik oleh Kapal/Tagboat dengan merk dagang SP 1 milik PT. AMB yang dinakhodai oleh T (47 tahun) warga Surulangun Seberang Kecamatan Musi Rawas dengan 2 orang awak dengan inisial A (27 tahun) bersama MR (35 tahun) sebagai Anak Buah Kapal (ABK) kedua-duanya adalah warga Kelurahan Lebak Bandung Kecaramatan Jelutung Kota Jambi.
Pada Jembata Aur Duri I ponton tidak mengalami kejadian apa-apa berbeda halnya dengan kejadian yang kedua dimana ponton penabrak terbalik, walau tidak menelan korban nyawa manusia akan tetapi telah secara suka rela menyumbangkan timbunan Batubara kepada sungai Batanghari.
Belum diketahui secara pasti pihak Ditpolairud Polda Jambi yang menangani perkara tersebut juga melihat sumbangsih cuma-cuma tersebut berdampak buruk (negatif) terhadap habitat dan ekosystem plora dan fauna penghuni serta terhadap masyarakat Kabupaten Batanghari itu sendiri dan warga masyarakat Kabupaten Muaro Jambi serta warga masyarakat Kota Jambi yang menkonsumsi air sungai terpanjang di Provinsi Jambi tersebut melalui PDAM wilayah masing-masing pemerintahan tersebut.
Kedua kejadian tersebut merupakan suatu pertunjukan fenomena alam berhadapan dengan kebijakan kepentingan dari para pembuat kebijakan. Panggung theatre yang mempertunjukan bahasa dengan berbagai gaya bahasa diantaranya Sinisme dan Sarkasme.
Bahasa dengan isyarat pertanyaan sejauh mana kebijakan perizinan angkutan batubara tersebut berpihak kepada kepentingan masyarakat atau mungkin dengan bahasa satirenya dengan kalimat tanya “Batubara untuk masyarakat ataukah sebaliknya masyarakat untuk batubara?”.
Pertanyaan selanjutnya lebih ekstrime lagi apakah benar-benar disebabkan oleh fenomena alam ataukah ada sandiwara hukum dibalik semua peristiwa tersebut?. Karena persoalan hukum tentunya hanya hukum dengan azaz dan norma atau kaidah berbagai perspektif hukum terutama hukum pembuktian yang mampu menjawabnya.
Pembuktian atas legalitas para pekerja pada armada angkutan sungai batubara dimaksud, antara lain menyangkut sertifikasi pelayaran yang dimiliki oleh personil-personil sebagai awak kedua kapal tersebut.
Kaidah Hukum Pembuktian yang akan dapat menjawab sejauh mana keabsahan perizinan yang dimiliki oleh pihak-pihak pemberi kerja untuk dapat dipertangungjawabkan ataukah berpotensi sebagai kejahatan Korporasi. Termasuk membuktikan sejauh mana izin-izin yang diberikan sesuai dengan azaz dan norma ataupun kaidah hukum perizinan yang berlaku.(*)
Discussion about this post