JAMBI – Kasus dugaan mark up pembelian PT Mendahara Agro Jaya Industri (MAJI) oleh PTPN VI Jambi tahun 2012 dalam prosesnya cukup panjang dan pelik dimana kasus itu ternyata sudah dibidik Polda Jambi sejak tiga tahun lalu, tepatnya pertengahan 2021 silam.
Saat itu Sejumlah pihak terkait yang terlibat dalam take over perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di kawasan Blok A Geragai, Tanjab Timur itu sudah dimintai keterangan. Salah satunya mantan Humas PT MAJI, Puji Siswanto pada tahun 2021.
Saat itu Puji mengakui, dirinya sudah diperiksa di Ditreskrimsus Polda Jambi sebagai saksi dan mengaku bekerja sebagai Humas PT MAJI selama lima tahun yakni dari tahun 2004 hingga 2009.
Saat itu, PT MAJI masih dimiliki oleh Njono Purnomo, warga Surabaya, Jawa Timur. Menurut Puji, dia sudah dua kali dipanggil penyidik. Pertama dia dimintai keterangan pada Maret 2021 lalu.
Puji mengungkapkan, dia sudah menjelaskan kepada penyelidik bahwa Purnomo membeli PT MAJI senilai Rp 800 juta, lalu menjualnya kepada PTPN VI pada tahun 2012 senilai Rp 146 Miliar.
Nilai pembelian PT MAJI Rp 146 Miliar tersebut, dana yang diterima Purnomo hanya Rp 50 Miliar.
Selaku juru bayar ketika take over tersebut adalah Eka Nugraha, yang sejak 26 Mei 2020 menjabat sebagai Senior Executive Vice President (SEVP) Operation di PTPN VI Jambi.
Selain dirinya, menurut Puji, sejumlah orang telah dimintai keterangan oleh penyidik Polda Jambi.
Diantaranya mantan Direktur Utama PTPN VI Jambi, Iskandar Sulaiman dan mantan Direktur SDM PTPN VI Jambi Karim dan kemudian Eka Nugraha.
Puji juga mengungkapkan, selain diperiksa, dia juga diminta mendampingi penyelidik Subdit III Ditreskrimsus Polda Jambi dan Tim Pusat Penelitin Kelapa Sawit (PPKS) Medan melakukan identifikasi umur tanam kelapa sawit di lokasi PT MAJI pada 14-19 Juni 2021 lalu.
Hasil identifikasi tim ahli tersebut diketahui, saat dibeli PTPN VI umur tanam kelapa sawit PT Maji tersebut sekitar 2 tahun.
Makanya, lanjut Puji, percuma saja para pihak yang terlibat mencoba berkelit dari dugaan mark up pembelian PT MAJI. Masalahnya, kasus ini adalah pelimpahan dari KPK ke Polda Jambi.
Oleh karena itu, data-data yang dimiliki sudah cukup lengkap. Seperti mereka hendak berkelit bahwa nilai Rp 146 miliar itu cukup logis mengingat HGU PT MAJI seluas 3.000 hektare lebih.
Padahal harga itu jelas-jelas mark up. Soalnya, nilai Rp 146 miliar dinilai tidak logis membeli lahan PT MAJI yang baru ditanam 400 hektare dari luas total HGU 3.000 hektare lebih.
“Nilai yang pantas adalah Rp 40 miliar, plus pajak dan lain-lain Rp 20 miliar. Maka maksimalnya adalah Rp 60 Miliar. Artinya, diduga ada kerugian Negara Rp 80 Miliar. Tanaman itu kan bisa dicek ditanam di tahun berapa. Dari situ akan ketahuan,” jelasnya.
Eka Nugraha yang disebut sebagai juru bayar PTPN VI saat proses akuisisi enggan berkomentar. Dia mengarahkan konfirmasi pimpinan dan silahkan hubungi.
Dugaan mark up harga pembelian PT MAJI ini menjadi sorotan banyak pihak sebab, sebelumnya kasus ini pernah ditangani Kejati Jambi. Namun, tidak jelas kelanjutannya.
Makanya, begitu kasus ini diselidiki Polda Jambi, banyak pihak yang konsens pada pemberantasan korupsi mendukung langkah polisi melakukan pengusutan.
Sebelum Polda Jambi melakukan Perkara ini, ternyata Kejati Jambi sempat mengusut kasus tersebut pada tahun 2018.
Disisi lain Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan masih menjalani pemeriksaan oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jambi terkait korupsi di tubuh PTPN VI.
Setelah menjalani pemeriksaan selama empat jam setegah, usai menjalani pemeriksaan Dahlan Iskan menyebutkan banyak dicecar pertanyaan oleh penyidik terkait kasus kurupsi di Tubuh PTPN VI.
“Kalau pertanyaan banyak sekali, yang jelas saya di periksa sebagai Menteri,” katanya Senin (2/10/23).
Dia menambahkan saat disajikan barang bukti berupa pembayaran atas akusisi lahan sawit yang dibeli oleh PTPN VI.
“Saya kaget, ada pembayaran sebelum mekanksme jual beli selesai, karena jual beli itu ada prosesnya, pembayaran itu dilakukan diawal,” sebutnya.
Lanjutnya, dengan adanya barang bukti yang ditunjukan oleh penyidik dia merasa dibohongi.
“Kalau merasa dibohongi, sebab transaksi terjadi sebelum persetujuan dari kementerian,” tegasnya.(Tim)
Discussion about this post