Oleh: Refky Fielnanda
JAMBI – Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah menarik untuk dibahas. Secara yuridis calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia adalah SAH menurut Putusan MK RI Nomor 100/PUU-XII/2015.
Putusan itu diperkuat dengan Pasal 54C Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sejak putusan dan undang-undang itu dibuat tercatat sudah 53 daerah yang telah menjalankan pilkada dengan calon tunggal.
Kendati demikian Jika diamati lebih dekat, massifnya praktik Pilkada calon tunggal sejatinya bukan semata karena adanya ruang legitimasi pasca keluarnya putusan MK dan pengesahan UU No 10 tahun 2016. Di luar faktor yuridis tersebut, sesungguhnya ada varibel lain yang jauh lebih berpengaruh, yaitu faktor sosiologis.
Faktor sosiologis di sini tentu tidak tunggal, melainkan beragam dan kompleks. Kompleks karena di dalamnya berhubungan langsung dengan keberadaan partai politik (parpol), elit berkepentingan , ruang dan dinamika politik yang dari waktu ke waktu semakin cair dan paragmatis.
Setidaknya ada empat factor utama penyebab meningginya praktik Pilkada calon tunggal di Indonesia, yaitu: 1) Pragmatisme di jajaran elit politik; 2) Lemahnya parpol mejalankan fungsi dan perannya; 3) Diterapkannya ambang batas pencalonan, dan terakhir; 4) Adanya sentralisasi kekuasaan di lingkaran elit.
Lalu muncul pertanyaan bagaimana masa depan demokrasi Indonesia seiring dengan adanya praktik calon tunggal dalam perhelatan pemilihan kepala daerah? Apa mungkin praktik Pilkada calon tunggal merupakan bagian dari proses pendewasaan demokrasi, atau sebaliknya merupakan ancaman bagi keberlangsungan demokrasi?
Dua pertanyaan tadi mestinya ada di benak setiap warga negara, baik itu masyarakat biasa, elit politik,kandidat, akademisi, dan lain-lain.
Demokrasi identik sebagai pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemilik tertinggi kekuasaan dan kedaulatan politik negara.
Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, rakyat memiliki hak penuh untuk memilih pemimpinnya melalui satu kontestasi kepemimpinan yang berlangsung secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber), serta jujur dan berkeadilan (Jurdil). Secara teoritik, demokrasi yang baik adalah sistem politik pemerintahan yang di dalamnya memuat empat karakteristik dasar, tiga di antaranya paling mendasar adalah partisipasi, kontestasi, dan kompetisi.
Partisipasi berarti turut berperan serta dalam proses kegiatan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan demikian, praktik Pilkada calon tunggal yang di dalamnya menawarkan satu pasangan calon saja, itu sesungguhnya bersinggungan dengan asas partisipasi.
Demikian karena dalam praktiknya, Pilkada calon tunggal berpotensi besar mempersempit ruang partisipasi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya.
Selain itu, penyelenggaraan Pilkada calon tunggal seolah menjadi ruang legitimasi hilangnya hak keikutsertaaan seorang dalam proses pemilihan karena terganjal oleh proses dan politik kebijakan pencalonan yang cenderung berpihak pada kelompok atau golongan tertentu, khususnya kaum elit.
Karakteristik kedua pemerintahan demokratis adalah kontestasi. Dalam konteks Pilkada, kontestasi mengisyaratkan adanya panggung politik yang diwarnai oleh adanya dialektika gagasan dan program paslon yang maju dalam pemilihan.
Bahwa dalam Pilkada harus ada proses berpikir terbuka dan kritis, bertukar pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan dan rasionalisasi untuk mempertahankan dan mempertanggungjawabkan pendapat masing-masing Konkritnya, kontestasi dalam gelaran Pilkada adalah ajang pengujian akal dan pemikiran di muka umum sehingga dengannya publik dapat mengetahui betul sosok calon pemimpinnya.
Melalui kegiatan dialektika ini diharapkan lahir calon pemimpin kredibel, visioner, berintegritas disertai oleh kualifikasi mumpuni dan teruji. Sayangnya Pilkada calon tunggal, selain mereduksi makna esensial kontestasi, juga mereduksi makna kompetisi yang selama ini menjadi roh demokrasi.(*)
Discussion about this post