JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) menegaskan tidak menentang hadirnya pabrik kelapa sawit (PKS) berondolan atau PKS tanpa kebun di sekitar sentra perkebunan sawit. Hanya saja, pendirian PKS tersebut harus ditata agar tidak merugikan PKS yang bermitra.
“Kami tidak menentang adanya pabrik tanpa kebun. Tidak sama sekali. Apabila diperlukan silakan saja,” kata Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono dalam seminar sesi I bertema “Kemana Arah Kemitraan Sawit?” di Sawit Indonesia EXPO 2024 yang berlangsung di Pekanbaru, Kamis (8/8/24).
Demikian saran yang disampaikan Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono yang mengatakan menjamurnya PKS tanpa kebun tersebut jika tidak ditata akan merusak kemitraan yang sudah ada antara perusahaan dan petani.
Kendati demikian harus dipastikan juga bahwa pemberian izin pabrik tanpa kebun harus melihat kondisi di lapangan.
Seandainya kondisi di lapangan ternyata tidak membutuhkan lagi [PKS], sebaiknya jangan dikeluarkan izin karena, di situ sudah ada pabrik perusahaan yang sudah bermitra.
Eddy mengungkapkan bahwa PKS tanpa kebun tersebut saat ini kerap kali berdekatan dengan PKS bermitra.
Hal tersebut membuat petani sawit mitra ‘berselingkuh’ dengan menjual TBS-nya kepada PKS berondolan.
Dampak negatif lainnya, menurut dia, PKS tanpa kebun tersebut juga membuat rendemen TBS perusahaan menjadi merosot. Sebab, banyak petani menjual TBS-nya justru tanpa berondolan ke PKS mitranya.
“Nah, PKS berondolan ini juga menyebabkan rendemen kita turun karena berondolannya tidak ada. Padahal berondolan itu untuk menghitung penetapan harga. Jadi sekarang serba susah,” kata Eddy.
Dia juga mengaitkan keberadaan PKS tanpa kebun dengan dugaan kemungkinan upaya mengakali pajak ekspor sawit, sebab hasil olahan berondolan akan berbentuk Palm Oil Mill Effluent (POME) atau limbah cair kelapa sawit dan pungutan ekspor POME itu jauh lebih rendah dibanding ekspor dalam bentuk CPO.
Sekarang itu ekspor POME, limbah cair yang tadinya 200 ribu ton per tahun, naik jadi hampir 2 juta ton. Setelah diselidik-selidik ada permainan di situ. Ternyata levy atau pungutan ekspornya POME hanya US$5, sementara PE dan BK [CPO] itu hampir US$150 per ton.
Dia mengungkapkan, POME yang diekspor tersebut untuk bahan baku energi.
“Saya meyakini PKS-PKS berondolan ini bukan untuk food grade, itu mungkin untuk fueld grade. Karena tidak mungkin karena FPA-nya tinggi,” kata Eddy.(JP01)
Discussion about this post