Oleh: Jamhuri – Direktur Eksekutif LSM Sembilan
JAMBI- Merujuk pada isi pemikiran Ayra seorang Penulis bangsa Indonesia yang mengungkap tentang karakteristik dan sifat atau pun filosofi tentang kebenaran dengan ungkapan kalimat sederhana “Kebenaran akan selalu mencari jalan untuk mengungkapkan dirinya”.
Kalimat dengan gaya bahasa metafora memberikan gambaran tentang mahalnya harga sebuah kebenaran. Suatu illustrasi yang identik dengan catatan sejarah bahwa persoalan kebenaran bukanlah hal baru.
Saking tuanya pembahasan tersebut bahkan teori kebenaran korespodensi disebut sebagai teori kebenaran yang paling tua diats dunia ini merujuk pada teori pengetahuan Aristoteles, yang menyatakan bahwa “Segala sesuatu yang kita ketahui dapat ditegakkan pada kenyataan yang diketahui oleh subyek”.
Begitu gambaran terntang mahalnya harga sebuah kebenaran, hingga tidak sedikit ilmuan yang menggungkap pendapat masing-masing tentang kebenaran tidak terkecuali dengan seorang Friedrich Nietzsche (Jerman) yang menyatakan bahwa “Kebenaran tidak ada, kebenaran adalah kesalahan yang tertunda”.
Sebagaimana yang dikutip oleh Yulius Tandyanto dari kesimpulan pada esainya Nitzshce yang tercantum pada karya beliau yang berjudul berjudul “Kebenaran dan Dusta dalam Pengertian Selain Moral” atau dengan bahasa originalnya “Wahrheit und Lüge im Aussermoralischen Sinne selanjutnya disingkat WL).
Pandangan yang mengakui bahwa pada umumnya kebenaran selalu tertutupi dengan bahasa atau frasa bersifat ambigu ataupun multy tafsir yang membuat semakin sulitnya arti kebenaran untuk ditemukan, dengan bahasa sederhananya kebenaran tertutupi oleh pembenaran.
Pembenaran yang tergantung dari interprestasi dan orientasi serta motivasi dari masing-masing pemegang hak dan kewenagnan atau pemilik kepentingan dalam melihat kenyataan dari sebuah persoalan yang ada.
Untuk kebenaran sepertinya tidak jarang alam harus ikut campur tangan dalam membantu isi kepala manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dalam terang benderangnya sinar gelap kegelapan warna pembenaran.
Sepertinya apa yang terjadi dan dialami oleh bangunan tua rentah ditengah Kota Jambi tersebut (Jembatan Aur Duri I) sebagai penghubung dengan Kabupaten Muaro Jambi, merupakan salah satu bentuk dari campur tangan alam, atau katakanlah semacam pembenaran atas kedua teori diatas (Ayra dan Nietzshce).
Kejadian yang terlihat jelas dan disaksikan oleh masyarakat banyak tersebut telah menunjukan bagaimana alam menyatukan kekuatan yang bersumber dari berbagai elemen, yaitu kekuatan yang berasal dari Sungai Batanghari, Jembatan Aur Duri I itu sendiri beserta dengan kekuatan pemilik kepentingan pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan alam tersebut.
Pertunjukan alam yang ditujukan kepada hukum dalam mengungkap kebenaran tentang sejauh mana pengelolaan anugerah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tersebut benar-benar telah dilaksanakan sebagaimana mestinya demi untuk kepentingan kesejahteraan umum sesuai dengan amanat konstitusional dan konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Sepertinya alam sedang memberikan isyarat kepada Aparat Penegak Hukum dan sejumlah pemilik nama besar yang secara konstitutsional baik dari level Pusat sampai kepada tingkat yang paling rendah diberikan hak dan kewenangan untuk berbuat dan bertindak atas nama, untuk, serta demi kepentingan rakyat atau dengan kata lain dapat berbuat dan bertindak dengan mengatasnamakan rakyat.
Isyarat alam yang memberikan petunjuk bahwa ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam khususnya yang ada di Provinsi Jambi atau setidak-tidaknya alam sedang memberi tanda atau isyarat agar mata hukum tidak terlelap dalam tidur panjang tanpa akhir. Seakan-akan alam sedang mengingatkan manusia bahwa Hukum boleh tidur akan tetapi hukum tidak pernah mati.
Isyarat yang mengajak manusia berpikir sesuai dengan fakta yang ada, seharusnya angkutan batubara di Provinsi Jambi tidak mesti menjadi sebuah Polemik jika ada tanggungjawab hukum terhadap kebijakan penggunaan Keuangan Negara tekait hal itu.
Adanya pemikiran dengan tidak menjadikan kebijakan tersebut hanya sebatas alat pelengkap panggung pertunjukan pragment kepentingan politik kekuasaan murahan dengan keyakinan atau paham kebohongan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran.
Sepertinya hitam kelam dan gelapnya warna batubara telah mampu mendirikan sebuah bangunan megah, misteri penggunaan uang rakyat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2012 yang lalu senilai Rp. 4,5 Triliun dengan salah satu peruntukannya yaitu untuk membangun jalan khusus angkutan batubara
Alam memberikan pesan moril bahwa adalah merupakan suatu hal yang amat sangat mustahil jika angkutan batubara di Jambi akan menjadi polemik yang terkesan telah sengaja dipelihara, seandainya pembangunan jalan yang menggunakan system pembangunan Recycling tersebut, tidak hanya sekedar isapan jempol belaka.
Jika terlaksana atau realisasi sebagaimana mestinya sesuai dengan perencanaan dimana untuk pembangunan ruas jalan sepanjang ± 220 Km dengan pelaksanaan menggunakan system tahun jamak (Multy Years) membutuhkan waktu yaitu ± selama 2 tahun.
Perencanaan yang selaras dengan amanat Pasal 5 Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 13 tahun 2012 tentang Pengangkutan Batubara dalam Provinsi Jambi yang mengatur penggunaan jalan khusus batubara sudah terlaksana pada Januari 2014.
Mengingat jalan khusus tersebut direncanakan akan terhubung langsung dengan Pelabuhan Samudera Ujung Jabung maka anggaran tersebut dijadikan satu kesatuan pembangunan kedua indikator kewajiban Pemerintah tersebut.
Akan tetapi amat sangat disayangkan besarnya nilai uang negara yang bersumber dari APBN beserta pengalokasian dana APBD Provinsi Jambi tahun anggaran 2013 senilai Rp.90 Miliar untuk pembebasan lahan pada indikator pembangunan tersebut hanya mampu membeli sebuah monumen bersejarah tanda kegagalan pemerintah dalam memegang teguh dan menyadari serta menghayati arti suci nilai-nilai kesakralan Sumpah Jabatan dan amana rakyat.
Sampai dengan saat pembaca membaca tulisan ini uang rakyat tersebut sepertinya sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi masyarakat umum ataupun rakyat dan hanya akan menjadi industri krisis moral dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Monumen sejarah sebagai mesin indutri produktif pencipta polemik abadi atau sebagai lahan potensial bagi pertumbuhan dan berkembang biaknya budidaya peternakan kepentingan politik kekuasaan.
Budidaya dengan kekuatannya yang mampu memaksa Pemerintah dengan sekuat tenaga harus memeras otak mencari akal untuk menggunakan diskresi untuk dijadikan sebagai sebuah dalih dan dalil pikiran pembenaran dari sebuah kegagalan agar tidak terjebak dalam azaz dan kaidah atau norma hukum pembuktian baik dimata hukum terutama di mata masyarakat.
Kebijakan yang mengharuskan Pemerintah dan Hukum untuk memgambil posisi seakan-akan tengah berada dan telah terbelenggu oleh berbagai kepentingan orientasi dan motivasi politik kekuasaan, dengan menjadikan masyarakat sebagai korban.
Adalah merupakan suatu bentuk pemikiran yang dapat dinilai jauh dari mengenal kata-kata jujur ataupun kejujuran, bahkan lebih terkesan kebijakan yang terjajah dan diperkosa oleh kebuasan kekuasaan oligarki dengan paham plutokrasinya.
Kejujuran yang jauh dari kata-kata bebas dan merdeka dari segala macam bentuk dan wujud intervensi serta intimidasi, terutama kepentingan nafsu birahi kekuasaan sebagaimana diatas yang merupakan suatu perwujudan daripada sikap atau mentalitas dari penganut paham Homo Homini Lupus.
Suatu gambaran atau ilustrasi sebagaimana pada kisah Raja Ahab dan Ratu Izebel, atau kisah yang menggambarkan tentang bagaimana kebiadaban seorang Fir’aun ataupun Farouh dengan kebuasaan naluri kekuasaannya sebagai penguasa yang menerima limpahan kekuasaan.
Kekuasaan yang mampu menenggelamkan dan mengubur sedalam-dalamnya gemerlapnya kilau kemilau sinar-sinar kebenaran hakiki dari Nurani dan Nalar beserta kejujuran yang tidak rusak karena mengalami cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran.
Kejujuran yang mampu mengikis habis napsu dan naluri pada diri manusia sebagaimana pada kisah tokoh-tokoh otoriter diatas sebagai penganut apa yang disebut dengan autoriterianisme personality, kejujuran yang akan melahirkan sikap yang menyadari bahwa manusia bukanlah binatang buas bagi manusia lainnya sebagaimana ilustrasi pada kisah-kisah diatas.
Alam dengan bahasanya hanya memberikan isyarat dan semoga saja penangkapan awak kapal tersebut tidak menjadi sebuah terminal akhir dari sebuah proses penegakan kedaulatan hukum dengan pepatahnya “Semua manusia sama dan setara di hadapan hukum (Equality before the law)”. Hukum yang berdaulat sebagai alat kontrol sosial (Law as a tool of social engineering), dan hukum bukan sebagai alat yang diperalat oleh kepentingan politik kekuasaan gaya hidup.
Agar tidak menimbulkan kesan adanya tindakan diskriminasi hukum, hendaknya pihak Aparat Penegak Hukum tidak hanya melihat kejadian tersebut adalah satu-satunya yang terjadi.di Provinsi Jambi.
Tentunya dalam hal ini Pihak Kepolisian juga harus mampu mengungkap kejadian sebelumnya yang terjadi dan menimpa jembatan Gentala Arsy pada beberapa waktu yang lalu yang tidak menutup kemungkian adanya kejadian lainnya yang terjadi.
Merujuk pada azaz Causalitas, kiranya secara yuridis awak kapal tersebut bukanlah merupakan pelaku utama dari adanya perbuatan yang menimbulkan kerusakan aset ataupun barang milik negara, dan berpotensi atau menjadi peluang lahir atau terciptanya korban jiwa yang berasal dari masyarakat sebagai pengguna fasilitas umum milik negara tersebut.
Diharap pihak Kepolisian dalam hal ini tentunya pihak Satpolairud Polda Jambi akan melihat persoalan tersebut dari berbagai aspek hukum terutama dari sudut pandang (perspektif) hukum perizinan, khususnya menyangkut tentang trayek angkutan sungai, izin sandar kapal, Stoctpile, beserta dengan instrumen hukum menyangkut pelayaran dan/atau kepelabuhan.
Serta melihat legalitas armada beserta krunya dan tidak mengalami pemikiran yang bersifat ambigu atau multy tapsir dalam memahami defenisi yuridis daripada Pelabuhan yang pada dasarnya amat sangat erat korelasinya dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development).
Suatu prinsip pembangunan yang terdiri atas beberapa indikator, diantaranya: aspek Ekonomi,
Energi, Ekologi, Engagement atau Peran Serta Masyarakat yang merupakan hak yang paling fundamental (mendasar), Equity atau Pemerataan (memperkecil kesenjangan ekonomi) dengan mempergunakan perspektif Masyarakat Berkelanjutan (Sustainable Sociaty) guna mengangkat harkat dan martabat serta kehormatan bangsa di mata dunia.
Serta yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana hukum dengan tangan-tangannya harus mampu mengungkap tanggungjawab dari kebenaran menyangkut penggunaan dan pengelolaan serta pemanfaatan uang rakyat dengan jumlah yang tidak sedikit itu, dapat melahirkan ataupun mewujudkan secara nyata elemen-elemen tujuan utama hukum.(*)
Discussion about this post