Oleh Muhammad Al Hafizh, M.I.Kom (Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi)
Belakangan ini, perhatian kita tertuju pada kasus pembunuhan yang terjadi 8 tahun lalu gara-gara kasus ini diangkat ke layar lebar. Kasus ini tiba-tiba kembali mengemuka dan menjadi sorotan utama di berbagai media massa. Kasus tersebut menarik perhatian besar karena ada perkembangan baru yang melibatkan tiga orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Nama-nama mereka segera menjadi bahan spekulasi di media sosial dan di berbagai platform berita.
Media massa memberikan liputan intensif mengenai kasus ini, sehingga masyarakat menjadi sangat tertarik dan terlibat. Di berbagai platform media sosial, spekulasi tentang siapa pelaku utama pun bermunculan. Banyak orang mulai berspekulasi bahwa tersangka utamanya adalah si A atau si B, berdasarkan informasi yang tidak selalu jelas atau diverifikasi. Spekulasi ini terus berkembang tanpa dasar bukti yang kuat, namun mendapatkan banyak perhatian dan dukungan dari publik.
Ketika salah satu dari DPO tersebut akhirnya ditangkap, kenyataannya berbeda dari yang diduga banyak orang. Bukan si A atau si B yang ditangkap, melainkan seseorang yang sama sekali tidak terduga. Penangkapan ini segera memicu reaksi keras dari publik. Opini yang sebelumnya terbentuk melalui spekulasi media sosial berbalik menjadi keraguan terhadap keabsahan penangkapan ini. Banyak orang mulai berpendapat bahwa polisi telah melakukan salah tangkap.
Bahkan, tersangka yang ditangkap menyatakan bahwa dia bukanlah pelaku pembunuhan tersebut. Pernyataan ini semakin memperkuat opini publik yang sudah skeptis. Berbagai komentar dan pernyataan di media sosial menuduh bahwa penangkapan ini tidak tepat sasaran. Opini publik yang terbentuk dari spekulasi awal kini berubah menjadi kritik tajam terhadap penegakan hukum.
Dalam proses ini, terlihat bagaimana media massa dan opini publik bisa sangat mempengaruhi persepsi terhadap suatu kasus hukum. Media yang memberikan liputan intensif dan spekulatif dapat membentuk opini publik sebelum ada putusan resmi dari pengadilan. Opini publik yang didorong oleh spekulasi ini dapat menciptakan tekanan besar terhadap pihak berwenang dalam menjalankan tugas mereka.
Keadaan ini menunjukkan fenomena yang sering disebut sebagai “trial by press” atau “trial by media.” “Trial by press” terjadi ketika media massa dan spekulasi publik memainkan peran besar dalam membentuk persepsi tentang kesalahan atau kepolosan seseorang sebelum pengadilan memberikan keputusan yang sah. Dalam situasi ini, liputan media yang berlebihan dan sering kali tidak seimbang dapat mempengaruhi opini masyarakat secara signifikan. Hal ini bisa berpotensi mengganggu proses hukum yang seharusnya berjalan adil dan berdasarkan bukti yang kuat.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya bagi kita untuk memahami pengaruh media dalam membentuk opini publik dan bagaimana hal ini bisa berdampak pada proses hukum. Sebagai masyarakat, kita harus bijak dalam menyikapi berita dan spekulasi yang beredar. Media massa memiliki tanggung jawab besar untuk melaporkan secara objektif dan tidak memicu spekulasi yang tidak berdasar. Pada saat yang sama, kita sebagai publik perlu mengingat bahwa proses hukum harus berjalan berdasarkan bukti dan fakta, bukan opini atau rumor.
Kita perlu memberi kesempatan kepada pihak berwenang untuk menjalankan tugas mereka tanpa tekanan opini publik yang telah dipengaruhi oleh liputan media. Hanya dengan cara ini, kita bisa memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan sesuai dengan prinsip praduga tak bersalah hingga terbukti bersalah di pengadilan.(*)
Discussion about this post