Oleh: Jamhuri- Direktur Eksekutif LSM Sembilan
JAMBI – Berbagai perkara konplik lahan antara masyarakat dan badan hukum ataupun investor terkesan dipelihara atau dapat dikatakan sebagai bentuk budidaya prilaku pemerkosaan terhadap konstitusi, atau menunjukan Pemerintah telah gagal terhadap pemahaman dan penerapan azaz triaspolitica.
Konplik demi konplik telah mampu menempatkan institusi penegakan hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan serta masyarakat sebagai subjek sengketa berada pada posisi yang sama, yaitu sama-sama korban kebijakan.
Belum terlihat adanaya penanganan perkara atau sengketa demi sengketa yang menyentuh keakar persoalan yang sebenarnya yang ditenggarai bermuara pada implementasi dan aplikasi azaz, kaidah atau norma hukum perizinan, dan hukum pertanahan.
Padahal dari kedua instrument ataupun aspek hukum dimaksud merupakan salah satu sumber Pendapatan Negara dan/atau Daerah berupa Pendapatan Negara dari Sektor Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta Retrebusi Daerah dari sektor Perizinan.
Diantara sekian banyak sengketa lahan tersebut menunjukan indikasi terbentuknya suatu rezim kekuasaan yang terbentuk dari embrio Oligakhi dari rahim Plutokrasi. Seperti yang tercatat pada dokumen Kesimpulan Akhir Hasil Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Lahan seluas 406 Ha (Empat Ratus Enam Hektar) yang dibuat dan ditanda Pejabat Negara/Daerah berkompeten pada Pemerintahan Kabupataen Tanjung Jabung Timur pada 05 Desember 2012 yang lalu.
Pada kesimpulan tersebut secara sadar dan berdasarkan pada fakta hukum yang layak dikatakan sesuai dengan kaidah hukum pembuktian, tim telah berbuat dan bertindak bak wakil Tuhan di singgasana kebesaran kemanfaatan hukum menyatakan dengan lugas dan tegas bahwa lahan yang dimaksud adalah benar milik Masyarakat dan pihak Investor secara Yuridis dinyatakan tidak memiliki hak atas tanah/lahan seluas 406 Ha (Empat Ratus Enam Hektar) yang terletak di Desa Merbau Kecamatan Mendahara Kabupaten Tanjung Jabung Timur tersebut.
Satu tahun setelah itu lahirlah Keputusan Pengadilan Negeri Jambi yang mendukung ataupun selaras dengan kesimpulan tim penyelesaian sengketa yang dimaksud dengan Salinan Putusan Pengadilan Nomor:762/Pid.B/2015/PN. Jambi yang menyatakan dengan tegas bahwa telah terbukti secara syah dan meyakinkan di hadapan hukum adanya penggunaan dokumen Palsu yaitu berupa Surat Keterangan Penguasaan Tanah, yang terletak di Dusun Sungai Buluh Desa Merbau Kecamatan Mendahara Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Sepertinya Putusan Pengadilan Negeri Jambi dan Kesimpulan Akhir dari Tim Penyelesaian Sengketa yang dimaksud belum mampu memberikan kemanfaatan hukum dalam artian yang sebenarnya dimana objek sengketa belum dapat memberikan kemanfaatan tanah sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua fakta hukum dimaksud disinyalir telah menunjukan adanya perbuatan dan/atau tindakan pemerkosaan terhadap konstitusi dengan adanya pemberian Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor: 00039 dengan ukuran tanah atau lahan seluas 167,08 Hektar dan HGU Nomor 00041 dengan ukuran tanah atau lahan seluas 203,21 Hektar dengan waktu pemberian hak pada hari yang sama yaitu pada tanggal 30 Juli 2018 setelah memakan waktu selama ± 24 tahun setelah akta pendaftaran dengan akta nomor 36 tertanggal 23 Juli 1994.
Sepertinya fakta hukum menyangkut pemberian Hak Guna Usaha dimaksud belum atau tidak terlihat oleh mata hukum, menyangkut tentang bagaimana hak penguasaan atas tanah tersebut dapat diberikan dengan perkiraan adanya praktek mafia pertanahan dalam proses pemberian hak tersebut oleh pihak Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Seakan-akan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam memberikan HGU dimaksud telah dengan sengaja mengabaikan fakta hukum sebagaimana pada Kesimpulan Tim Penyelesaian Sengketa Pemerintahan setempat yang terdiri atas unsur Eksekutif dan Yudukatif (Perwira Kepolisian) sebagai unsur Pimpinan struktur kelembagaan tim tersebut, serta tidak menggubris keputusan lembaga peradilan yang berkekuatan hukum tetap.
Disinyalir pemberian hak penguasaan tanah tersebut kepada investor belum mencerminkan ada dan hidupnya roh-roh konstitusional sebagaimana yang telah diatur dengan amanat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang secara spesifik diatur dengan ketentuan Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah atau dengan kata lain pemberian HGU tersebut tidak dapat menunjukan tiga dasar tujuan hukum.
Uniknya lagi sampai saat tulisan ini sampai kepada pembaca kedua instrument hukum dimaksud tidak membuat lahirnya tindakan hukum apapun atas investor yang masih tetap mempergunakan HGU yang dimaksud untuk memanfaatan tanah atau lahan tersebut sebagai lokasi perkebunan Kelapa Sawit.
Suatu penampakan yang memberikan suatu gambaran dengan penilaian bahwa Pemerintahan Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah lumpuh untuk melaksanakan tugas pokoknya dalam mencapai tujuan negara sebagaimana paham yang dianut oleh negara dengan prinsip negara kesejahteraan (welfare state), dengan indikasi adanya tindakan pembiaran, dengan tidak pernah mampu membekukan segala aktifitas perkebunan beserta seluruh instrument hukum perizinan investor dimaksud.
Mungkin saja karena telah terbelenggu dalam cengkraman kekuasaan Oligarki dengan paham Plutokrasinya sehingga Pemerintahan Daerah seakan-akan telah benar-benar sama sekali tidak lagi memiliki kemampuan mewujudkan tujuan dasar hukum atau telah dengan sengaja dalam suatu kesepakatan tidak tertulis untuk sama-sama melakukan pemerkosaan terhadap konstitusi ataupun terhadap azaz dan norma atau kaidah Hukum Perizinan.
Suatu tatanan Pemerintahan yang layak untuk dinilai telah menunjukan ketidak mengertiannya akan konsekwensi hukum terhadap penggunaan sesuatu perizinan yang didalamnya terdapat atau mengandung unsur-unsur cacat hukum, yang berakibat hilang dan terampasnya hak orang lain atas sesuatu hak yang dikuasai untuk diberikan oleh negara.
Hal ini bukan lah satu-satunya yang terjadi di Provinsi Jambi, dimana masih ada persoalan lain indikasi HGU Mafia Pertanahan yaitu seperti yang terjadi di Kabupaten Muaro Jambi, dimana salah satunya terdapat persoalan pada suatu Sertifikat Hak Guna Usaha yang secara physik di dalamnya terdapat lahan masyarakat dan lahan Transmigrasi, dan bersentuhan dengan kawasan hutan lindung dengan ukuran luas masing-masing mencapai Ratusan Hektar dari HGU yang diberikan seluas 2000 (Dua Ribu) Hektar.
Uniknya kondisi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit dengan kriteria legalitas terindikasi bermasalah seperti itu kenapa masih bisa mendapatkan Sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Walaupun pemberian Sertifikasi tersebut tidak dapat dikatakan merupakan perdagangan gelap Surat Berharga Milik Negara akan tetapi kiranya dapat dinyatakan merupakan suatu perbuatan memberikan keterangan Palsu kepada negara atau dengan kata lain merupakan praktek pemerkosaan terhadap konstitusi.
Dimana persoalan berikutnya diikuti dengan indikasi proses perubahan Satus Badan Hukum Investor dari Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) berubah menjadi Penanam Modal Asing (PMA) yang disinyalir bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah diatur dengan Pasal 15 huruf (b) dan huruf (c) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal juncto Pasal 21 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Tidak hanya sebatas pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dugaan diatas akan tetapi pihak Investor disinyalir juga telah melakukan sejumlah perbuatan melawan hukum berupa perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 76 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan serta Pasal 10 ayat (2) huruf b ke (5), Pasal 83 ayat (3) dan Pasal 85 ayat (1) Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko dan Fasilitas Penanaman Modal.*
Discussion about this post