Oleh: Jamhuri-Direktur Eksekutif LSM Sembilan
JAMBI – Sepertinya Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Mayang Kota Jambi dihuni dan dikelola serta diurus oleh oknum-oknum yang mengalami cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran. Penilaian ini didasari dengan adanya suatu keadaan yang seakan-akan telah terjadi regenerasi Koruptor.
Benar atau tidaknya penilaian tersebut tergantung bagaimana aparat penegak hukum khususnya pihak Kejaksaan Tinggi Jambi dalam memandang laporan masyarakat atas dugaan adanya tindak pidana Korupsi pada rezim kekuasaan jajaran direksi yang sekarang sedang berkuasa, sebagaimana yang telah terjadi pada 2 (dua) rezim terdahulu.
Kejaksaan selaku pengacara negara tentunya memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan proses hukum, agar terwujud tujuan utama hukum, agar supaya misteri kabut tebal pada PDAM Tirta Mayang tidak menimbulkan kesan bahwa negara ini berada dalam kondisi sebagaimana pandangan Aristoteles terhadap Oligarki.
Aristoteles menjelaskan oligarki sebagai suatu bentuk kekuasaan yang dipegang oleh segelintir orang dan menganggapnya sebagai manifestasi dari pemerintahan yang buruk. Dengan alasan karena oligarki cenderung bersifat elitis, eksklusif, beranggotakan kaum kaya, dan tidak memperdulikan kebutuhan masyarakat.
Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan yang dikemukakan oleh Jeffrey Winters yang secara terperinci mengemukakan pendapat bahwa Oligark adalah pelaku atau aktor yang menguasai serta mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang dapat dimanfaatkan demi meningkatkan atau mempertahankan posisi sosial eksklusif dan kekayaan pribadinya.
Sumber daya ini menurut Winters, tidak perlu dimiliki sendiri namun harus tersedia untuk dimanfaatkan demi mengakomodir kepentingan pribadi. Berbagai fakta hukum menyangkut tentang kebijakan kegiatan pengendalian PDAM Tirta Mayang Kota Jambi saat ini terkesan tidak jauh berbeda atau identik dengan defenisi Oligarki sebagaimana pendapat oleh kedua ilmuan diatas.
Suatu pandangan yang selaras dengan atau akan melahirkan dugaan adanya penerapan praktek paham Plutokrasi yang menurut pendapat Xenophon dalam Memorabilia, yang menyatakan istilah itu digunakan untuk menggambarkan bahwa kekuasaan hanya dikendalikan orang-orang yang memiliki kekayaan. Jadi, plutokrasi merupakan prima facie (pada pandangan pertama) dari oligarki.
Sebagaimana yang dilansir oleh Merdeka.com mengutif dari situs Euston 96 yang menyatakan bahwa Plutokrasi memiliki beberapa karakteristik atau ciri-ciri utama, antara lain: Pemerintah lebih memperhatikan serta memenuhi kebutuhan para elit ekonomi atau kaum kaya.
Penganut plutokrasi bisa mencabut amanah dari pemerintah yang telah terpilih. Elit ekonomi memiliki mekanisme tertentu, hingga bisa membuat peraturan yang menguntungkan kaumnya, dan kekuasaan secara publik dikelola untuk kepentingan tertentu kaum elit ekonomi lokal serta awam atau masyarakat biasa mau tidak mau harus mengikuti peraturan yang telah dibuat.
Dalam hal ini masyarakat berharap adanya suatu bentuk campur tangan hukum dengan segala bentuk tindakan-tindakan tegasnya atas peran serta aktif masyarakat sebagai alat sosial kontrol dalam upaya memulihkan keadaan pengendalian kekayaan alam sebagaimana azaz dan norma atau kaidah hukum serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Suatu tindakan yang dapat membumi hanguskan pandangan meyakini diri sebagai sosok kebal hukum dan dilindungi oknum-oknum sebagai pelindung ataupun sosok backing hebat yang mampu melahirkan sosok kebal hukum.
Sikap yang dilahirkan dari adanya suatu keyakinan yang tidak memandang remeh terhadap peran serta aktif masyarakat, yang tanpa disadari pemikiran tersebut baik secara sengaja atau tidak sengaja telah menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya bibit-bibit koruptor generasi baru.
Tindakan tegas hukum perlu dilakukan agar benih-benih koruptor sebagai pengkhianat bangsa dan negara tidak terkesan mendirikan negara didalam negara serta tidak lebih berkuasa jika dibandingkan dengan kekuasaan para penguasa syah dan berdaulat menurut hukum.
Tentunya semua harapan masyarakat tersebut akan terwujud jika tindakan tegas hukum mampu menimbulkan efek jera serta dapat menjadi rahim suci yang akan melahirkan embrio-embrio kesadaran hukum yang diiringi dengan cara berpikir yang sehat dan waras atau tidak dengan melacurkan diri ataupun menjadi pengkhianat negara dan bangsa demi untuk memenuhi suatu kebutuhan kepentingan gaya hidup.(*)
Discussion about this post